Wednesday, June 27, 2012

Penulis Bunuh Diri

Pagi ini mendung tampak menggantung. Koran pagi tidak menyuguhkan satu pun berita menarik. Apalagi televisi yang lagi seru berkata gosip. Kuraih laptop dan mulai berselancar lagi di dunia maya. Jejaring sosial kukuak, selembar email terlayang dari sahabat. Bercerita tentang keluh kesah hendak hengkang dari dunia literasi. Kenapa?
Sakit hati dengan kawan, katanya.
Ada apa?
Entahlah. Aku tidak tahu permasalahan detailnya.

Tapi aku kecewa. Bagiku menulis adalah mimpi termegah. Seperti mimpi seseorang yang sangat bercita-cita ingin jadi dokter atau artis. Bagiku menjadi penulis adalah sebuah mimpi yang terus kupupuk sejak usiaku menginjak bangku sekolah kelas 3 SD. Semenjak aku mulai lancar membaca dan piawai merangkai huruf dalam susunan kalimat di atas kertas. Aku jatuh cinta setengah mati dengan tulisan. Betapa kuingat kawan-kawan berkeluh soal sulitnya mengarang. Aku malah heran dan kupikir matematika jauh lebih sulit dari mengarang. Bahasa Indonesia adalah pelajaran favoritku. Bagai melihat bidadari yang cantik atau pangeran yang sangat tampan, hatiku selalu berbinar melebihi mata memandangi guru bahasa Indonesia. Dua jam terasa singkat dalam kelas. Bahkan hingga kini, kunikmati sastra seperti suatu kebutuhan selain makan atau minum.

Jadi, jujur kukecewa ketika ada sahabat yang mengatakan inign berhenti meraih mimpinya sebagai penulis. Bagiku itu adalah pengkhianatan terbesar. Karena dia membunuh rasa cintanya sendiri. Karena bagiku, membunuh cinta pada menulis seperti menekankan belati sangat dalam pada pembuluh darah di pergelangan tangan. Aku tidak ingin  bunuh diri!

Tapi, tak bisa kusalahkan maunya. Hanya kusayangkan saja. Aku jadi berduka. Padahal dia sedang belajar mengepakkan sayap. Terbangnya pun sudah mulai tinggi. Sedikit lagi. Mungkin dia sudah bisa melanglang buana hingga ke selatan atau utara. Kuharap dia berubah pikiran. Semoga hanya emosi sekejap yang akan hilang kemudian. Seperti embun yang senang bermain di atas daun talas di pagi hari. Di siang hari dia sudah lupa telah bergantung di lembar-lembar lebar itu dengan suka cita.

Semoga dia segera lupa akan niatnya untuk berhenti menulis.
Semoga. Jangan menyerah kawan. Kepak sayapmu masih perlu dibumbungkan lebih tinggi.
Aku berharap dan masih banyak yang lebih berharap...

0 comments:

Post a Comment

 

(c)2009 Mardiana Kappara . Based in Wordpress by wpthemesfree Created by Templates for Blogger