“Bukannya sudah terlalu malam untuk keluar?” Tanyaku memandang jam dinding kamar kami.
“Sebentar.
Ada rapat,” jawab suamiku menarik sehelai kemeja yang digantung dalam
lemari. Baju itu bermotif kotak-kotak biru lengan pendek. Tadi pagi baru
kujahit kancing atasnya karena lepas.
“Rapat? Jam segini?”
Dia menghela nafas sedikit kesal, “Iya.”
“Apa tidak bisa besok?”
“Tidak
bisa, Nyonya Juminah, karena besok itu acara sudah harus digelar. Aku
ketua panitia, tanggung jawabku untuk memonitor terus persiapan acara
hingga hari H.”
“Tapi
aku selalu kau tinggal sendiri. Semenjak keguguran itu pun tidak sudi
kau temani aku barang sejenak. Apakah duniamu itu terlalu penting
dibandingkan aku dan anakmu?”
“Juminah, terimalah kenyataan bahwa kita sudah kehilangan anak kita. Jangan terlalu kau jadikan alasan melankolik.”
“Melankolik?
Anak dalam rahimku! Aku bukan bicara soal anak orang lain!” Mataku
langsung digenangi airmata. Dadaku sesak penuh kesal.
“Aku berangkat,”
Aku mendengus sebal, “Berangkatlah. Tidak perlu kau bangunkan aku nanti!”
Dia mencibir, “Kau ingin aku tidak pulang? Ok. Aku tidak akan pulang!” Ujarnya menuju ke pintu lalu membantingnya sekuat tenaga.
Kudengar
suara mobilnya menderu kencang meninggalkan halaman rumah. Sementara,
aku ditinggal terguguh sendiri di dalam rumah. Dadaku terhimpit ribuan
batu dan udara seolah enggan mengisi rongga paru-paru. Mataku panas tapi
tidak lebih panas dari raunganku yang panjang dan kesepian.
Selengkapnya baca di Annida-Online.com
0 comments:
Post a Comment