Umi dan Abah selalu bertengkar. Sejak kecil
sekali aku sering melihat mereka saling tuding jari. Ketika itu aku
belum duduk di bangku sekolah. Nyaris setiap pertemuan mereka isi dengan
lontaran kata hardik maupun caci-maki satu sama lain. Tidak ada yang
merasa lelah. Gurat-gurat amarah dan tegang selalu tergambar di wajah.
Tidak pernah ada kehangatan. Tidak pernah ada senyum ataupun tawa.
Kelas
2 SMA, Umi dan Abah akhirnya resmi berpisah. Mereka ke KUA.
Menandatangani surat perceraian. Menitipkan aku sementara pada nenek.
Ibunya Umi. Umi dan Abah masih belum menemukan kata sepakat tentang hak
asuh. Mungkin bagi mereka aku semacam “milik” bukan manusia. Tidak ada
satu pun yang merasa pantas untuk bertanya menyangkut pendapatku.
Selengkapnya baca di Annida-Online.com.
0 comments:
Post a Comment