Skizophrenilove, adalah kumpulan cerita pendek yang ditulis oleh sepuluh orang penulis (Mardiana Kappara, Nana Sastrawan, Rini Intama, Nenny Makmun, Dea Malyda Atmitha Akbar, Diah Hastorini, Anggi Putri, Icha Rain, Widara, dan Okty KN) dengan mengusung tema 'Cinta', antologi ini tetap mempunyai keunikan tersendiri dari cerita-cerita fiksi lain yang membahas hal senada. Apabila berminat, Anda bisa memesan langsung melalui SMS/WA di 081373581989.
Berikut sebuah Cerpen karya Mardiana Kappara dari buku Skizophrenilove dan silahkan nikmati cerita-cerita cinta lainnya yang tak kalah seru!
Berikut sebuah Cerpen karya Mardiana Kappara dari buku Skizophrenilove dan silahkan nikmati cerita-cerita cinta lainnya yang tak kalah seru!
Cupid in Love
oleh Mardiana Kappara
Konon,
Cupid butuh ijazah untuk izin operasi. Cupid turun ke bumi pertama kali untuk
mengikuti semacam tes. Apabila lulus dari tes tersebut, Cupid resmi menyandang
status “dewa cinta berijazah” yang bisa bebas berkelana di bumi. Kini, tibalah waktunya Cupide, Cupidi, dan
Cupido mengikuti tes turun bumi pertama
demi dapat mengantongi ijazah yang
diidam-idamkan setiap umat Cupid tersebut.
Cupide
menjerit panik, “Gila! 13 hari untuk turun ke bumi?”
Cupidi
melirik Cupido, “Ya, salah siapa? Siapa yang nggak bisa lihat peta!”
“Lah,
jangan salahkan aku!” bela Cupido.
“Kalian
sadar tidak, itu artinya cuma tersisa dua hari untuk menyelesaikan tes?” Cupide
tambah panik.
Cupidi
mendelik, “Ya syukur masih ada 2 hari!”
Cupide lebih mendelik,”Syukur Kepala Petak!”
Cupido dan Cupidi manyun.
“Hei,
coba ingat-ingat. Sekarang, apa yang harus kita kerjakan?” Cupide berusaha
meredam panik dan mulai fokus.
Cupidi
menarik gulungan kertas dari tangan Cupido, membacanya berlahan, “Hm, keempat
nama itu adalah Laila, Juminten, Subekti, dan Nyono. Umur 30-an. Tinggal di
Gang Senggol. Disinyalir mereka merupakan tetangga, dan bisa jadi cukup intens mengalami kontak.”
Cupide
merampas gulungan kertas dari tangan Cupidi, “Laila adalah seorang pelatih
karate, Juminten pembantu rumah tangga, dan Nyono adalah Office Boy di sebuah perusahaan swasta. Lalu Subekti bekerja
sebagai buruh bangunan,... Sementara posisi gang Senggol diperkirakan,...”
Cupide kemudian menoleh ke kiri dan ke kanan dengan seksama.
“Laila!
Neng Laila! Tunggu!”
Seorang
pria kurus berseragam biru setengah berlari mengejar seorang wanita yang
terburu-buru keluar dari mulut gang tak jauh dari simpang jalan di mana ketiga
Cupid berdiri.
Si
wanita yang dipanggil menghentikan langkah tampak kesal, “Ada apa?”
“Tolong,
berhentilah mempermainkan saya. Sudah berapa kali saya mengirimkan surat kepada Neng Laila, tetapi beberapa kali pula
malah diberikan orang lain. Dulu Si Kokom, tukang gado-gado itu, sampai saya
harus menginap di kantor karena takut pulang bakal ketemu Si Kokom. Terus Bu
Tetty, janda setengah stress itu,
sampai saya terancam pindah rumah karena dia terus datang minta kawin. Terakhir
Si Mince, banci rombengan itu. Aduh, Neng Lail! Cinta saya ini cuma buat Neng.
Apa Neng nggak pernah percaya?”
“Terus
sekarang maunya Mas Nyono apa?”
“Saya
bener-bener cinta sama Neng Laila.”
“Tapi
saya tidak, Mas Nyono.”
“Dibandingkan
lelaki itu. Subekti. Saya lebih bersedia menikahi Neng Laila. Subekti cuma
peduli pada Juminten yang seksi itu. Subekti cuma peduli pada penampilan
perempuan...”
Laila
naik pitam, “Oh, jadi menurut Mas Nyono, saya ini kurang seksi, kurang cantik?
Kalo menghina jangan terang-terangan begitu dong!”
Nyono
gugup, “Bu-bukan, bukan begitu maksud saya. Saya cuma mau bilang, bahwa saya
mencintai Neng Laila karena saya tahu Neng Laila mempunyai kecantikan abadi,
yaitu hati yang lembut, baik, dan tulus. Apalah artinya kecantikan wajah, kalau
hanya dalam beberapa tahun pasti akan memudar. Cantik hati akan selamanya. Dan
cantik itu yang saya cari dari Neng Laila.”
Laila
mencibir. Dengan langkah tergesa si wanita menjauh dari si pria kurus yang
tampak masygul ditinggalkan tanpa tanggapan.
Cupide
menjentikkan jarinya riang, “Pucuk dicinta ulam tiba. Gusti Cupid memang berpihak pada kita. Tanpa perlu bersusah payah,
ternyata malah sasaran yang menemui kita. Selanjutnya apa langkah kita?”
“Hm,
kira-kira, apa mungkin membuat mereka saling
jatuh cinta dalam dua hari?” Cupidi menyahut ragu.
Cupide
dan Cupido saling menatap. Bimbang pula.
Tiba-tiba
sebuah motor berhenti di muka ketiga Cupid. Ternyata seorang lelaki kekar
menghadang langkah seorang wanita berkebaya menggendong bakul. Wanita itu
berpostur biola, sehingga lekukan membayang jelas di kebaya dan kain batik yang
melilit tubuhnya yang sewarna gading. Cupido yang baru menyadari kehadiran
keduanya langsung terpana.
“Pagi,
Juminten,” sapa lelaki di atas motor.
Si
Juminten yang digoda tersenyum malu-malu, “Pagi, Bang Bekti.”
“Mau
mengantar cucian?”
Juminten
mengangguk.
“Mau
diantar?”
Juminten
kembali tersenyum malu, “Abang tidak kerja?”
“Libur.
Mau diantar ke mana cuciannya, Jum?”
“Jurangan
Ali.”
“Ya,
sudah. Sini ikut Abang, sekalian Abang ada perlu dengan Jurangan Ali.”
Juminten
tampak senang, “Wah, serius, Bang. Ma kasih ya.”
Subekti
mengerling membuat muka Juminten merona merah. Setelah Juminten naik, motor
bebek 70-an tersebut segera melaju meninggalkan persimpangan.
Cupido
masih memandangi bayangan keduanya, “Juminten cantik...”
Cupide
dan Cupidi saling bertatapan senang kemudian langsung berpelukan, “Puja untuk Gusti Cupid! Tidak sulit untuk
mempersatukan keduanya!”
Cupido
menampik, “Tidak! Ini cinta bertepuk sebelah tangan.”
Pelukan
Cupide dan Cupidi terlepas, “Apa maksudmu?”
“Lihat,
apa kalian tidak melihat hanya si pria yang berhasrat?” tanya Cupido.
“Ah,
bagaimana kau bisa tahu?” Cupidi protes.
“Hanya
Subekti yang punya perasaan, Juminten biasa-biasa saja,” jelas Cupido
Cupidi melirik, “Alah, Sok tahu!”
Cupido menjawab, “Aku tahu perasaan perempuan semacam
Juminten.”
Cupide tertawa, “Untuk detik ini kita tidak butuh banyak
analisa, yang penting hasil. Paham!”
Cupido
protes, “Tentu penting analisa. Bagaimana mungkin hal yang berhubungan dengan
perasaan dianggap barang sepele?”
“Tidak
untuk dua hari ini, Cupido! Sekali lagi aku mohon, tidak untuk dua hari ini.
Paham!”
Cupido
terpaksa membungkam mulutnya rapat-rapat dan hanya mengangguk.
***
“Malam, Mbak Juminten,” cegat Cupido setelah
setengah jam menunggu di mulut Gang Senggol. Juminten mengerutkan kening
menatap Cupido.
“Mengenali
saya?”
Juminten
menggeleng.
“Wajar.
Saya memang tidak tinggal di gang ini. Saya Cupido,” mengulurkan tangan.
Juminten balas mengulurkan tangan ragu-ragu, namun cepat ditarik kembali.
“Memang,
ini pertemuan Mbak yang pertama dengan saya. Tapi saya sudah pernah melihat
Mbak di simpang jalan ini. Jujur, saya sangat kagum dengan Mbak, dengan segala
hal yang Mbak punya. Tubuh. Wajah. Suara. Gerak-gerik. Semua penuh seni. Sangat seksi! Saya jatuh cinta pada
pandangan pertama.”
Juminten
langsung mengayun langkah hendak pergi.
Tapi Cupido cepat menahan.
“Eits,
sebentar. Saya belum selesai bicara.”
“Maaf ya anak ingusan atau
anak kemaren sore! Saya ini perempuan baik-baik. Saya bukan perempuan
begituan. Saya pembantu rumah tangga. Saya bekerja dengan kedua tangan saya
secara halal. Kalau penampilan saya seperti ini, apa berarti saya harus
dipersalahkan karena telah mengundang syahwat laki-laki? Saya tidak minta
dilahirkan dengan tubuh sintal, suara seksi, dan wajah cantik. Lelaki saja yang
terlalu punya banyak pikiran kotor sehingga tidak bisa mengendalikan nafsunya!
Apalagi anak bau kencur yang kebanyakan nonton film blue seperti kamu!”
“Houw!
Houw! Kenapa jadi memvonis begitu! Saya tidak menilai Mbak seperti apa yang
Mbak barusan utarakan. Sebentar, mungkin saya salah bicara. Saya kemari
bermaksud menawarkan jasa.” Cupido segera mengeluarkan selebaran pamflet yang
dibawanya lalu menyerahkan kepada Juminten.
Juminten
membacanya, “Biro Jodoh?”
Cupido
mengangguk, “Biayanya relatif lebih murah dari yang lain. Kami jamin datang ke
biro jodoh kami pasti akan menemukan jodoh. Dan untuk pembukaan perdana, ada
penawaran gratis untuk empat orang.”
Juminten
menyerahkan balik selebaran itu, “Saya tidak tertarik!”
“Paling
tidak datang saja. Ada Door Prize!”
“Door Prize?” mata Juminten langsung
terbelalak. Sudah seringkali dia mendengar kata itu, tapi sekalipun belum
pernah dia melihat bentuknya. Rasa ingin tahu mendesaknya.
Cupido
tersenyum yakin bahwa mangsa terakhir sudah masuk perangkap. Kakinya segera
melangkah dengan ringan kembali menemui kedua rekannya di markas.
***
Sebuah
gudang tua disihir Cupide menjadi Biro Jodoh Cupid. Nuansa temaran nan romantis
dengan bangku-bangku memenuhi ruangan. Sebuah panggung lengkap dengan band dangdut menambah suasana hangat
acara tersebut.
“Akhirnya, selamat datang di biro jodoh kami!
Silahkan menikmati hidangan yang disediakan. Semoga malam ini menjadi malam
keberuntungan buat semua!”
Tepuk
tangan membahana menutup sambutan Cupide. Cupide turun panggung. Band langsung memainkan irama “Boneka India” mengundang tamu turun
bergoyang.
Sementara
itu, sejak tadi Cupido terus mengamati Juminten. Cupido tidak membuang-buang
kesempatan ketika Subekti beranjak dari sisi Juminten. Dia segera menghampiri
Juminten yang sedang duduk sendirian.
“Malam,
Mbak Juminten,” sapa Cupido berusaha memamerkan senyum terbaiknya.
“E,
Dik Cupido. Malam,” balas Juminten ramah.
“Bisa
ditemani?”
Juminten
tersenyum, “Silahkan.”
Cupido
segera duduk di samping Juminten.
“Malam
ini Mbak Juminten terlihat sangat istimewa.”
Juminten
tersenyum, “Begitu ya?”
“Benar.
Dari tadi bahkan saya tidak bisa berpaling dari Mbak. Saya tidak bohong. Selama
ini saya selalu membantu orang menemukan cinta. Tapi baru pertama kali ini saya
merasa menemukan cinta saya.”
Wajah
Juminten bersemu merah, “Ah, Dik Cupido ini punya bakat jadi Playboy juga rupanya. Tapi, memang bener
ada Door Prize-nya? Saya sudah
menunggu dari tadi.”
Cupido
tampak kecewa karena dialihkan, “Oh, Door
Prize ya? Sebentar, saya tanya pada Ketua Panitia... Tunggu ya, Mbak Jum.”
Juminten
mengangguk.
Cupido
segera berdiri dan melangkah mendekati Cupide dan Cupidi yang berada jauh dari
para tamu. Tampang keduanya sangat serius mengamati.
“Cupide!”
tegur Cupido.
Cupide
mengangkat telunjuknya ke atas bibir.
“Semua
sudah berkumpul. Setiap sasaran telah berada pada posisi tembak,” bisik Cupidi.
“Ya.”
Cupide melihat Subekti menghampiri Juminten dan Nyono tak pernah lepas
menguntit Laila.
“Kurasa
ramuan kita sudah bekerja.”
“Ramuan
apa?” Cupido langsung berujar penasaran.
“Aku
campur ‘Cinta Buta’ pada minuman dengan dosis tinggi dan ‘Cinta Setengah Mati’
pada makanan. Aku yakin tembakan panah ini tidak akan meleset!” jawab Cupide
menjentikkan jarinya.
“Ok.
Aku siap!” Cupidi mengeluarkan busur dan membidikkan anak panahnya.
“Hei!
Apa ini?” Cupido membentak.
Cupidi
menurunkan anak panah bingung, “Tentunya menembak lah, Man?”
“Bukannya
terlalu cepat?” tanya Cupido.
“Terlalu
cepat? Hei Man! Waktu kita tinggal
satu jam lagi. Apabila gagal, jangankan ijazah,... Pufhh!! Kita pun bisa jadi
dihilangkan dari alam ini!” potong Cupide kesal.
Cupidi
kembali mengangkat busurnya untuk membidik.
“Kalau
boleh tahu pasangan mana yang akan kalian tembak pertama kali?” rasa penasaran
Cupido tak tertahankan.
“Juminten-Subekti,”
jawab Cupidi.
“Tunggu!
Kenapa harus mereka duluan?” seru Cupido cemas.
Cupide
mengerutkan kening, “Ada apa denganmu, Man?”
“Jangan
bilang kau benar-benar jatuh cinta pada Juminten!” ujar Cupidi.
Cupido
tersenyum malu-malu dan mengangguk.
“Oh,
Gusti Cupid!” Cupidi menepuk
jidatnya.
“Ah,
sudahlah Cupidi. Cepat saja tembak
Juminten dan Subekti!” perintah Cupide.
“Hei!
Apa kalian tidak menghargai perasaanku? Apa aku tidak berhak jatuh cinta? Apa
aku tidak berhak tertarik pada seorang perempuan?”
“Kau
Cupid, Man! Dewa Cinta!”
“Memang
Cupid dilarang jatuh cinta?”
“Ah,
urusan itu tanya saja pada Gusti Cupid.
Sekarang kewajiban kita adalah menyelesaikan tes! Ayo tembak. Jangan
disia-siakan lagi!”
Cupidi
langsung mengarahkan anak panah pada
Juminten-Subekti.
“Tidak!
Tidak bisa! Obat peletku belum bekerja!” ujar Cupido berusaha merampas busur
Cupidi.
“Apa?
Ini benar-benar gawat! Di mana otakmu? Dia manusia dewasa dan kau calon Dewa
Cupid. Untuk ukuran manusia pun kau terlalu belia untuk Juminten!” Cupide
berusaha melepas Cupidi dari cengkraman Cupido.
“Cupidi,
cepat tembak mereka!”
“Tidak!
Aku tidak terima!” teriak Cupido.
Akhirnya
terjadi tarik-menarik di antara ketiganya. Juminten dan Subekti yang awalnya
saling berdampingan merubah posisi. Juminten menghampiri Laila yang
memanggilnya. Sementara Nyono dengan wajah sedih menemui Subekti dan membisikkan
sesuatu pada Subekti. Pada saat itulah Panah Cinta melesat dan tepat mengenai
Subekti dan Nyono. Ketiga Cupid sama-sama terkejut.
Nyono
menatap penuh cinta pada Subekti. Begitu pula sebaliknya.
“Nyono,...”
Subekti menarik lembut tangan Nyono ke dadanya.
“Mas
Bekti,...” Nyono menatap Bekti dengan mata berbinar-binar.
“Oh
Nyono sayang, Maukah kau menikah denganku?” tanya Subekti menggenggam erat
tangan Nyono yang tersenyum malu-malu.
“Tentu,
Mas Bekti...”
“Lihat!
Akibat ulahmu! Kita telah membuat kesalahan fatal. Bagaimana ini Cupide?” tanya
Cupidi kesal sekaligus panik.
“Entahlah,”
jawab Cupide bingung.
“Ya
sudah, berhubung sudah jadi satu pasangan. Masih tinggal satu lagi yang harus
kita jadikan,” sahut Cupidi menarik kembali busurnya.
“Apa
kalian gila? Juminten dan Laila kan sama-sama perempuan?” ujar Cupido tak
terima.
“Bukannya
Subekti dan Nyono juga sama-sama laki-laki? Seharusnya semua berjalan sesuai
jalurnya. Ini akibat otak gila dan keegoisanmu. Sudahlah! Tes ini juga tidak
menjelaskan syarat apa-apa selain meminta kita membuat dua pasangan cinta dari
keempat orang tersebut,” sahut Cupidi tanpa ragu.
“Tidak
bisa!” berang Cupido kembali ingin merampas panah Cupidi.
"Cupido!!!
Bukan kita yang harus membahagiakan cinta! Tetapi cintalah yang harus membahagiakan
kita! Cinta cuma alat, bukan tujuan!” bentak Cupide sambil merampas busur
Cupidi kemudian menghempaskannya sekuat tenaga ke lantai. Busur itu patah
menjadi dua.
Cupido
terpaku.
“Ada
banyak hal yang perlu dipertimbangkan untuk memilih belahan jiwa, kawan! Dan
itu, bukan semata cinta, Cupido...,” tambah Cupidi membuat Cupido semakin
diam.
Cupidi menepuk bahu sahabatnya. Kemudian dia
mengambil busur yang masih bertengger di punggung Cupido. Lalu kembali siaga
pada posisi tembak, dengan penuh keyakinan Cupidi melesatkan anak panah
terakhirnya ke arah Juminten dan Laila. Sementara Cupido langsung terduduk
lemas menatap cintanya perlahan pudar. (Selesai)
0 comments:
Post a Comment