"Kalian
boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan
apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang
pandai." (Pramoedya Ananta Toer)
Tuesday, August 26, 2014
Friday, May 23, 2014
Mengapa Menulis?
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan
hilang dalam masyarakat dan sejarah. Menulis adalah bekerja untuk
keabadian.”
Mungkin pertanyaan saya itu sudah dijawab oleh Pramoedya Ananta Toer di atas. Kalau Anda ingin menjadi orang yang berbeda dan selalu diingat dari orang yang biasa di suatu zaman, maka menulis lah!
Mengapa menulis?
Pertanyaan itu tetap muncul?
Sama dengan pertanyaan: Mengapa makan?
Bagi beberapa orang, 'menulis' seperti kebutuhan primer selayaknya 'makan'. Tanpa menulis, maka sesuatu dalam diri mengalami jammed atau macet. Bisa saja kita tidak makan, tetapi kehidupan kita tidak berjalan secara natural dan sehat. Kita akan menjadi pesakitan sebelum akhirnya mati secara total.
Mengapa menulis?
Mampu menulis adalah sebuah anugerah. Sangat sayang untuk disia-siakan. Menulis, menulis, dan menulis seperti makan, makan, dan makan. Demi kehidupan. Berbahagia lah memiliki hasrat untuk menulis. Tidak perlu mempedulikan komentar orang. Siapa pun berhak suka atau tidak dengan tulisan yang kita buat. Tulisan adalah refleksi dari panca indera dan otak. Tulisan menunjukkan kemampuan kita dalam mengasah kecerdasan. Ingin cerdas? Banyak-banyaklah menulis dan membaca!
Tuesday, February 11, 2014
Tidak
Tanpa
sengaja aku telah menelan kata “Tidak”. Sehingga setiap percakapan yang
membutuhkan kata tersebut membuatku mendadak gagap luar biasa. Sekuat
apa pun aku memaksa untuk melontarkan dari mulut, kata itu raib. Hilang
tak berbekas.
Sebagai anggota legislatif sebenarnya tidak jadi soal, karena kata tidak
bukan hal yang penting dalam percakapan kami. Biasa saja. Kosa kata
yang kami miliki masih sangat banyak untuk dilontarkan. Sehingga
kehilangan kata tidak, tidak memberikan pengaruh, sekalipun pada saat pembicaraan berlangsung ada pernyataan tidak yang perlu diutarakan.
Sedikit pun aku tidak mencemaskan kesalahan yang telah kuperbuat tersebut. Karena aku meyakini mampu mengatasinya.
Seperti hal yang diperdebatkan baru-baru ini. Soal stocking mbok jamu yang telah meresahkan masyarakat. Khususnya ibu-ibu. Diduga, tukang jamu telah merangkap menjadi agen penjual stocking.
Lalu di mana bahayanya?
Selengkapnya baca di Annida-Online.com
Labels:
Cerpen
Wednesday, January 8, 2014
Kontroversi Buku "33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh"
“Akhirnya kami memutuskan 33 tokoh sesuai yang kami sepakati,”
papar Jamal D. Rahman, Ketua Tim 8 penyusunan Buku "33 Tokoh Sastra
Indonesia Paling Berpengaruh" saat diskusi dan launching buku di PDS H.B
Jassin Taman Ismail
Marzuki Jakarta, Jumat (3 Januari 2014).
Adapun, ke-33 tokoh sastra Indonesia paling berpangaruh yang menuai pro dan kontra tersebut antara lain:
1. Kwee Tek Hoay
2. Marah Roesli
3. Muhammad Yamin
4. HAMKA
5. Armijn Pane
6. Sutan Takdir Alisjahbana
7. Achdiat Karta Mihardja
8. Amir Hamzah
9. Trisno Sumardjo
10. H.B. Jassin
11. Idrus
12. Mochtar Lubis
13. Chairil Anwar
14. Pramoedya Ananta Toer
15. Iwan Simatupang
16. Ajip Rosidi
17. Taufik Ismail
18. Rendra
19. NH. Dini
20. Sapardi Djoko Damono
21. Arief Budiman
22. Arifin C. Noor
23. Sutardji Calzoum Bachri
24. Goenawan Mohammad
25. Putu wijaya
26. Remy Sylado
27. Abdul Hadi W.M.
28. Emha Ainun Nadjib
29. Afrizal Malna
30. Denny JA
31. Wowok Hesti Prabowo
32. Ayu Utami
33. Helvi Tiana Rosa
Nama Denny Januar Ali alias Denny JA, seorang tokoh di Indonesia yang lebih dikenal sebagai konsultan politik sekaligus pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) kini meramaikan dunia sastra.
Denny JA, dianggap telah melahirkan genre baru dalam penulisan puisi, yakni "Puisi Esai". Sebuah bukunya berjudul "Atas Nama Cinta" menurut Sapadri Djoko Damono, penting untuk dicatat sebagai perkembangan puisi tanah air. Denny JA dianggap menawarkan cara penulisan puisi yang baru dan berbeda.
Di media cetak dan jejaring sosial, hal ini menjadi perdebatan hebat. Beberapa bahkan menganggap hal ini sebagai pelecehan terhadap sastra yang dinilai sebagai suatu hal yang lahir dari hati nurani dan kejujuran. Tentulah demikian seni dimaknai. Tetapi, orang menjadi banyak kecewa ketika seni pun dijadikan alat untuk mengusung sesuatu selain "cinta dan rasa".
Kekecewaan sastrawan dan penikmat sastra semakin gulana, soalnya Tim 8 yang menjadi juri untuk menetapkan tokoh 33 sastrawan tersebut bukanlah orang biasa. Anggota Tim 8 tersebut adalah Jamal D Rahman, Acep Zamzam Noor, Agus R Sarjono, Ahmad Gaus, Berthold Damshäuser, Joni Ariadinata, Maman S Mahayana, dan Nenden Lilis Aisyah. Nama-nama tersebut sudah tidak diragukan lagi sepak terjangnya dalam sastra sebagai pelaku dan kritikus, tetapi dianggap tidak berpihak secara jujur dalam menilai sastra.
Tetapi, ya mboh! kata orang jawa. Kalau saya sih, cukup salut juga untuk Denny JA atas kehebohan yang telah berhasil diciptakannya. Kesampingkan dulu soal mutu atau label originalitas yang mampu dihasilkannya dalam karya sasta. Tetapi, Denny JA telah berhasil melakukan satu trik sastra yang paling penting dan sulit, yaitu membetot dan menarik perhatian banyak orang untuk melongo karyanya. Kehebohan memang penting, terutama di awal. Bukankah terkadang sebuah karya bukan sekedar mutu yang membuatnya dikenal dan jadi bahan pembicaraan tetapi juga "kekisruhan" yang diakibatkan karya tersebut bagi khalayak.
Adapun, ke-33 tokoh sastra Indonesia paling berpangaruh yang menuai pro dan kontra tersebut antara lain:
1. Kwee Tek Hoay
2. Marah Roesli
3. Muhammad Yamin
4. HAMKA
5. Armijn Pane
6. Sutan Takdir Alisjahbana
7. Achdiat Karta Mihardja
8. Amir Hamzah
9. Trisno Sumardjo
10. H.B. Jassin
11. Idrus
12. Mochtar Lubis
13. Chairil Anwar
14. Pramoedya Ananta Toer
15. Iwan Simatupang
16. Ajip Rosidi
17. Taufik Ismail
18. Rendra
19. NH. Dini
20. Sapardi Djoko Damono
21. Arief Budiman
22. Arifin C. Noor
23. Sutardji Calzoum Bachri
24. Goenawan Mohammad
25. Putu wijaya
26. Remy Sylado
27. Abdul Hadi W.M.
28. Emha Ainun Nadjib
29. Afrizal Malna
30. Denny JA
31. Wowok Hesti Prabowo
32. Ayu Utami
33. Helvi Tiana Rosa
Nama Denny Januar Ali alias Denny JA, seorang tokoh di Indonesia yang lebih dikenal sebagai konsultan politik sekaligus pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) kini meramaikan dunia sastra.
Denny JA, dianggap telah melahirkan genre baru dalam penulisan puisi, yakni "Puisi Esai". Sebuah bukunya berjudul "Atas Nama Cinta" menurut Sapadri Djoko Damono, penting untuk dicatat sebagai perkembangan puisi tanah air. Denny JA dianggap menawarkan cara penulisan puisi yang baru dan berbeda.
Di media cetak dan jejaring sosial, hal ini menjadi perdebatan hebat. Beberapa bahkan menganggap hal ini sebagai pelecehan terhadap sastra yang dinilai sebagai suatu hal yang lahir dari hati nurani dan kejujuran. Tentulah demikian seni dimaknai. Tetapi, orang menjadi banyak kecewa ketika seni pun dijadikan alat untuk mengusung sesuatu selain "cinta dan rasa".
Kekecewaan sastrawan dan penikmat sastra semakin gulana, soalnya Tim 8 yang menjadi juri untuk menetapkan tokoh 33 sastrawan tersebut bukanlah orang biasa. Anggota Tim 8 tersebut adalah Jamal D Rahman, Acep Zamzam Noor, Agus R Sarjono, Ahmad Gaus, Berthold Damshäuser, Joni Ariadinata, Maman S Mahayana, dan Nenden Lilis Aisyah. Nama-nama tersebut sudah tidak diragukan lagi sepak terjangnya dalam sastra sebagai pelaku dan kritikus, tetapi dianggap tidak berpihak secara jujur dalam menilai sastra.
Tetapi, ya mboh! kata orang jawa. Kalau saya sih, cukup salut juga untuk Denny JA atas kehebohan yang telah berhasil diciptakannya. Kesampingkan dulu soal mutu atau label originalitas yang mampu dihasilkannya dalam karya sasta. Tetapi, Denny JA telah berhasil melakukan satu trik sastra yang paling penting dan sulit, yaitu membetot dan menarik perhatian banyak orang untuk melongo karyanya. Kehebohan memang penting, terutama di awal. Bukankah terkadang sebuah karya bukan sekedar mutu yang membuatnya dikenal dan jadi bahan pembicaraan tetapi juga "kekisruhan" yang diakibatkan karya tersebut bagi khalayak.
Labels:
Motivasi Menulis