Sesosok mayat belepotan
darah telentang di atas ranjang kamar kostku. Sementara di tanganku tergenggam
sebilah pisau berlumur darah. Sesaat wajahku pucat dan jantung berdegup
kencang.
Tok! Tok!
Tiba-tiba pintu kamar
yang terkunci di ketuk orang.
“Romeo!” tegur di balik
pintu.
“Bisa numpang ngetik di
komputermu sebentar? Besok aku punya tugas makalah yang harus dikumpulkan!”
Aku memandang komputer
di kamarku bergantian dengan sosok di atas kasur.
“Romeo?” tegur suara
itu lagi.
Aku menelan ludah.
Romeo? Sejak kapan namaku jadi Romeo? Dan pembunuh?
“Rom, please jok! Aku utang lah sama kau!”
Aku masih bingung tapi
terpaksa kusahut juga, “E, i-iya, sebentar...” jawabku kalang kabut segera
menarik mayat di atas ranjang dan mendorongnya ke kolong tempat tidur. Seprai
yang penuh dengan darah segera kulepas. Dan kasur yang telanjang cepat kututupi
selimut bersih. Kuganti lampu terang dengan lampu tidur. Sehingga kamarku
menjadi temaram dan warna merah tidak terlalu kentara. Terakhir, seprai yang
penuh darah serta pisau kusumpal di lemari pakaian.
“Ok, jok!”
aku membuka pintu sambil tersenyum.
Lelaki itu langsung
menerobos masuk, “Gila! Habis ngapain, man?
lama betul. Jangan sering-sering begituan. Cepat lemas!” katanya segera menghampiri
komputer.
Aku mengerutkan kening.
Tanda tak paham bicaranya.
“Belum mau tidur, kan?
Aku hidupkan lampu ya!”
Belum selesai dia
bertindak, aku segera menahannya, “Eits, jangan!”
“Kenapa?” tanyanya
bingung.
“Lampu itu,... eh, kita
ini kan harus hemat. Bayangkan, masa kau
mau pake listrik seboros itu. Sebegitu banyak, dari komputer, kipas angin,
teve, tape, belum lagi kalo ada AC. Waduh, bagaimana peran kita nih sebagai generasi muda? Memang idak pernah dengar tentang himbauan
pemerintah soal hemat listrik demi masa depan anak cucu kita?”
Lelaki itu mengerutkan
kening menatapku.
“Ah, sudahlah! Aku pakai
komputermu.”
Aku menghela nafas
lega.
***
Malam ini, jam 02.00
WIB. Lelaki itu telah menyelesaikan ketikan makalahnya. Dia permisi. Tapi aku
tidak bisa tidur. Bayangkan, aku sekamar dengan sesosok mayat yang entah
disebabkan karena permasalahan apa mati di kamar ini bersamaku. Apakah aku yang
membunuhnya karena kugenggam belati atau aku hanya kebetulan bersama dengan
sosoknya di kamar ini?
Dan, aku berada di
kamar ini sebagai Romeo! Seseorang berkelamin laki-laki. Bukankah aku terlahir
sebagai perempuan?
Aku panik. Kuintip di
balik kolor. Aku semakin panik. Ternyata tidak main-main. Aku lelaki tulen!
***
Tok! Tok! Tok!
“Rom, sudah pagi, jok!
Bangun. Kau idak ado kuliah pagi apo?”
Ketukan keras di pintu
kamar membuatku terkejut dan langsung tersungkur ke lantai dari atas dipan.
Seketika selimut ikut tertarik dan menyingkap telanjang ranjang sampai ke ujung
kaki serta apa yang tersembunyi di bawahnya. Jantungku hampir copot ketika
mendapati seraut wajah bersimbah darah kering di kolong tempat tidur. Aku
nyaris berteriak histeris kalau tidak ditahan oleh tanganku sendiri.
“Setan!” umpatku dalam
hati.
Mayat ini benar-benar
menyusahkan!
Tok! Tok!
“Rom? Sudah mampus kau?”
Aku memonyongkan mulut,
“Ya, sebentar...”
Segera kurapikan
kembali ranjang yang awut-awutan. Kolong dipan kembali kututupi sebelum menguak
pintu kamar.
“Yo-i, jok!
Aku ke kampus pagi ini,” sahutku sambil menguap membuka pintu.
“Kayaknya bukuku
ketinggalan di meja komputermu.” Katanya menerobos masuk mengambil.
“Kamarmu bau buntang[1]!
Coba sekali-kali kau buka dan bersih-bersih.” Ujarnya lagi. “Aku ke kampus
duluan. Sori idak bisa serempak[2].
Kuliahku jam 7, ada presentasi makalah kelompok dengan Ibu Atik Rosidah.”
Tambahnya sebelum benar-benar berlalu dari hadapanku.
Tiba-tiba aku merasa
akrab dengan nama yang disebutkan lelaki itu. Ibu Atik Rosidah, dosen Ilmu
Anthropologi di kampusku.
Mungkinkah lelaki itu
kuliah di kampusku? Romeo juga kah?
Kumasuki kamar dan
membongkar rak buku Romeo. Kutemui buku akademik universitas yang jelas-jelas
terpampang nama universitasku. Romeo adalah lelaki yang satu kampus denganku.
Segera aku menyambar
handuk dan peralatan mandi yang terongok di meja komputer. Aku harus mencari
sesuatu di kampus! Aku harus menemukan jawaban atas keadaanku ini! Tapi, mayat
itu harus kubereskan terlebih dahulu.
Segera kuletakkan lagi
peralatan mandi dan kembali berpikir.
***
Kukubur mayat itu di
belakang kost-kostan yang luas tanah lapang. Anak-anak kost sudah berangkat ke
kampus dan sekolah. Aku yakin betul itu sebelum melakukan ritual nekat di pagi
yang cerah ini. Syukurlah belakang kost-kostan adalah tanah luas tempat biasa
anak-anak membuang sampah, memang dekat dengan tempat jemuran, tapi karena
banyak ditumbuhi rumput ilalang tinggi, dijamin anak-anak kost bakal jarang bertandang.
Selanjutnya, setelah
semua kuanggap beres dan aman, aku mandi, berpakaian dan langsung melaju ke
kampus dengan mikrolet. Kampusku tidak terlalu jauh dari kost Romeo. Aku cuma
butuh 20 menit untuk menjejakkan kaki di lingkungan yang kukenal tersebut.
“Rom!” sebuah sahutan
gadis berjilbab menyambutku di muka kampus. Rupanya Vonny, teman sekelas.
Ternyata dia mengenal Romeo. Dan yang tak kuduga, Vonny bersama gadis lain yang
sangat kukenal. Sosok asliku.
“Ju-Juliet?” aku
langsung menyebut namaku.
Si gadis berjilbab
tersenyum dengan kening berkerut sambil melirik gadis di sampingnya, “Kenal
dengan Juliet, Rom?”
Aku menatap Juliet.
Tetapi balasan tatapannya seolah tidak suka akan tatapanku.
“Tidak.” Malah Juliet
yang menjawab pertanyaan Vonny.
Aku memicingkan mata,
seolah ingin menembus jiwa dibalik sosokku itu.
Kalau aku di raga
Romeo? Siapa di ragaku?
“Ayo, Von. Bukannya
kita ada kuliah pagi ini?” ajak Juliet memaksa gadis berjilbab beranjak dari
hadapanku.
“Sebentar, Jul.” Lalu
Vonny menatapku lagi, “Rom, Marsya ke mana ya? Dari kemaren dia idak pulang ke kostan. Idak sama kau?”
Marsya?
Mayat itukah?
Tak sengaja aku menatap
Juliet. Sosokku itu menatap tajam dan sinis sebelum akhirnya ia berpaling.
Aku merasa ada sesuatu
di balik tatapan sinis itu.
“Rom?” bertanya lagi
gadis berjilbab.
“Aku tidak tahu, Von.”
Kujawab sekenanya lalu segera berlalu. “Aku ada kuliah. Aku duluan.”
***
Marsya?
Aku sama sekali tidak
familiar dengan nama itu. Tapi kukira dia juga kuliah di tempat yang sama
denganku dan Romeo, selain itu dia satu kost dengan Vonny. Romeo satu fakultas
dan jurusan denganku tapi beda kelas. Sungguh, aku tidak begitu mengenalnya.
Aku baru kali ini melihatnya. Bagaimana tabiatnya aku tidak paham sama sekali.
Dia sepertinya tidak aktif organisasi ekstra atau intra kampus, karena kalau
dia aktif, aku pasti pernah melihatnya sesekali.
Setelah mengikuti kelas
Romeo, aku kembali pulang menggunakan mikrolet. Tidak langsung ke kostan Romeo.
Aku ke mall membeli beberapa peralatan mandi. Rasanya risih memakai peralatan
laki-laki.
Sehabis belanja, aku
langsung pulang lagi ke kost Romeo. Tapi, di depan kost langkahku tertahan.
Mobil polisi dan kerumunan banyak tetangga. Jantungku sesaat berhenti berdetak.
Perasaanku terasa tak enak. Kulangkahkan kaki satu-satu dengan penuh keraguan
ke pekarangan kost.
“Bang Ujang nemu mayat
di pekarangan belakang kost kita!” teman sebelah kamar kostku langsung
menghampiri. Wajahnya kelihatan pucat persis sepertiku.
“Mayat?”
Dia mengangguk sambil
memperbaiki kacamata. “Bang Ujang tadi pagi disuruh Ibu kost bersihin
pekarangan belakang. Rencananya mo nanam ubi kayu,” tambah si kacamata.
Kok
harus sekarang pula nanam ubi kayunya?
“Kayaknya mayatnya
masih baru.” Jelas si kacamata tanpa diminta.
Aku membuka pintu kamar
dan berusaha menenangkan diri. Untung saja seprai berlumur darah itu sudah
kubuang bersama belati. Mudah-mudahan saja polisi tidak memeriksa kamar kami
satu per satu. Karena aku takut sisa-sisa darah masih belum bersih benar aku
hilangkan. Tapi ternyata harapanku meleset, satu per satu kami penghuni kost
diinterogasi dan tiap-tiap kamar diperiksa tanpa luput. Selama 24 jam kostan
kami diawasi, tak satu orang pun boleh keluar tanpa seizin petugas yang
menjaga. Besoknya, aku diciduk dan mendekam di rumah tahanan. Mayat itu sudah
dikenali sebagai Marsya. Kekasih Romeo yang telah hamil 4 bulan.
***
0 comments:
Post a Comment