Sunday, March 31, 2013

Novel : Tukar Raga (1)


Sesosok mayat belepotan darah telentang di atas ranjang kamar kostku. Sementara di tanganku tergenggam sebilah pisau berlumur darah. Sesaat wajahku pucat dan jantung berdegup kencang.
Tok! Tok!
Tiba-tiba pintu kamar yang terkunci di ketuk orang.
“Romeo!” tegur di balik pintu.
“Bisa numpang ngetik di komputermu sebentar? Besok aku punya tugas makalah yang harus dikumpulkan!”
Aku memandang komputer di kamarku bergantian dengan sosok di atas kasur.
“Romeo?” tegur suara itu lagi.
Aku menelan ludah. Romeo? Sejak kapan namaku jadi Romeo? Dan pembunuh?
“Rom, please jok! Aku utang lah sama kau!”
Aku masih bingung tapi terpaksa kusahut juga, “E, i-iya, sebentar...” jawabku kalang kabut segera menarik mayat di atas ranjang dan mendorongnya ke kolong tempat tidur. Seprai yang penuh dengan darah segera kulepas. Dan kasur yang telanjang cepat kututupi selimut bersih. Kuganti lampu terang dengan lampu tidur. Sehingga kamarku menjadi temaram dan warna merah tidak terlalu kentara. Terakhir, seprai yang penuh darah serta pisau kusumpal di lemari pakaian.
“Ok,  jok!” aku membuka pintu sambil tersenyum.
Lelaki itu langsung menerobos masuk, “Gila! Habis ngapain, man? lama betul. Jangan sering-sering begituan. Cepat lemas!” katanya segera menghampiri komputer.
Aku mengerutkan kening. Tanda tak paham bicaranya.
“Belum mau tidur, kan? Aku hidupkan lampu ya!”
Belum selesai dia bertindak, aku segera menahannya, “Eits, jangan!”
“Kenapa?” tanyanya bingung.
“Lampu itu,... eh, kita ini kan harus hemat. Bayangkan, masa kau mau pake listrik seboros itu. Sebegitu banyak, dari komputer, kipas angin, teve, tape, belum lagi kalo ada AC. Waduh, bagaimana peran kita nih sebagai generasi muda? Memang idak pernah dengar tentang himbauan pemerintah soal hemat listrik demi masa depan anak cucu kita?”
Lelaki itu mengerutkan kening menatapku.
“Ah, sudahlah! Aku pakai komputermu.”
Aku menghela nafas lega.
***
Malam ini, jam 02.00 WIB. Lelaki itu telah menyelesaikan ketikan makalahnya. Dia permisi. Tapi aku tidak bisa tidur. Bayangkan, aku sekamar dengan sesosok mayat yang entah disebabkan karena permasalahan apa mati di kamar ini bersamaku. Apakah aku yang membunuhnya karena kugenggam belati atau aku hanya kebetulan bersama dengan sosoknya di kamar ini?
Dan, aku berada di kamar ini sebagai Romeo! Seseorang berkelamin laki-laki. Bukankah aku terlahir sebagai perempuan?
Aku panik. Kuintip di balik kolor. Aku semakin panik. Ternyata tidak main-main. Aku lelaki tulen!
***
Tok! Tok! Tok!
“Rom, sudah pagi,  jok! Bangun. Kau idak ado kuliah pagi apo?”
Ketukan keras di pintu kamar membuatku terkejut dan langsung tersungkur ke lantai dari atas dipan. Seketika selimut ikut tertarik dan menyingkap telanjang ranjang sampai ke ujung kaki serta apa yang tersembunyi di bawahnya. Jantungku hampir copot ketika mendapati seraut wajah bersimbah darah kering di kolong tempat tidur. Aku nyaris berteriak histeris kalau tidak ditahan oleh tanganku sendiri.
“Setan!” umpatku dalam hati.
Mayat ini benar-benar menyusahkan!
Tok! Tok!
“Rom? Sudah mampus kau?”
Aku memonyongkan mulut, “Ya, sebentar...”
Segera kurapikan kembali ranjang yang awut-awutan. Kolong dipan kembali kututupi sebelum menguak pintu kamar.
“Yo-i,  jok! Aku ke kampus pagi ini,” sahutku sambil menguap membuka pintu.
“Kayaknya bukuku ketinggalan di meja komputermu.” Katanya menerobos masuk mengambil.
“Kamarmu bau buntang[1]! Coba sekali-kali kau buka dan bersih-bersih.” Ujarnya lagi. “Aku ke kampus duluan. Sori idak bisa serempak[2]. Kuliahku jam 7, ada presentasi makalah kelompok dengan Ibu Atik Rosidah.” Tambahnya sebelum benar-benar berlalu dari hadapanku.
Tiba-tiba aku merasa akrab dengan nama yang disebutkan lelaki itu. Ibu Atik Rosidah, dosen Ilmu Anthropologi di kampusku.
Mungkinkah lelaki itu kuliah di kampusku? Romeo juga kah?
Kumasuki kamar dan membongkar rak buku Romeo. Kutemui buku akademik universitas yang jelas-jelas terpampang nama universitasku. Romeo adalah lelaki yang satu kampus denganku.
Segera aku menyambar handuk dan peralatan mandi yang terongok di meja komputer. Aku harus mencari sesuatu di kampus! Aku harus menemukan jawaban atas keadaanku ini! Tapi, mayat itu harus kubereskan terlebih dahulu.
Segera kuletakkan lagi peralatan mandi dan kembali berpikir.
***
Kukubur mayat itu di belakang kost-kostan yang luas tanah lapang. Anak-anak kost sudah berangkat ke kampus dan sekolah. Aku yakin betul itu sebelum melakukan ritual nekat di pagi yang cerah ini. Syukurlah belakang kost-kostan adalah tanah luas tempat biasa anak-anak membuang sampah, memang dekat dengan tempat jemuran, tapi karena banyak ditumbuhi rumput ilalang tinggi, dijamin anak-anak kost bakal jarang bertandang.
Selanjutnya, setelah semua kuanggap beres dan aman, aku mandi, berpakaian dan langsung melaju ke kampus dengan mikrolet. Kampusku tidak terlalu jauh dari kost Romeo. Aku cuma butuh 20 menit untuk menjejakkan kaki di lingkungan yang kukenal tersebut.
“Rom!” sebuah sahutan gadis berjilbab menyambutku di muka kampus. Rupanya Vonny, teman sekelas. Ternyata dia mengenal Romeo. Dan yang tak kuduga, Vonny bersama gadis lain yang sangat kukenal. Sosok asliku.
“Ju-Juliet?” aku langsung menyebut namaku.
Si gadis berjilbab tersenyum dengan kening berkerut sambil melirik gadis di sampingnya, “Kenal dengan Juliet, Rom?”
Aku menatap Juliet. Tetapi balasan tatapannya seolah tidak suka akan tatapanku.
“Tidak.” Malah Juliet yang menjawab pertanyaan Vonny.
Aku memicingkan mata, seolah ingin menembus jiwa dibalik sosokku itu.
Kalau aku di raga Romeo? Siapa di ragaku?
“Ayo, Von. Bukannya kita ada kuliah pagi ini?” ajak Juliet memaksa gadis berjilbab beranjak dari hadapanku.
“Sebentar, Jul.” Lalu Vonny menatapku lagi, “Rom, Marsya ke mana ya? Dari kemaren dia idak pulang ke kostan. Idak sama kau?”
Marsya? Mayat itukah?
Tak sengaja aku menatap Juliet. Sosokku itu menatap tajam dan sinis sebelum akhirnya ia berpaling.
Aku merasa ada sesuatu di balik tatapan sinis itu.
“Rom?” bertanya lagi gadis berjilbab.
“Aku tidak tahu, Von.” Kujawab sekenanya lalu segera berlalu. “Aku ada kuliah. Aku duluan.”
***
Marsya?
Aku sama sekali tidak familiar dengan nama itu. Tapi kukira dia juga kuliah di tempat yang sama denganku dan Romeo, selain itu dia satu kost dengan Vonny. Romeo satu fakultas dan jurusan denganku tapi beda kelas. Sungguh, aku tidak begitu mengenalnya. Aku baru kali ini melihatnya. Bagaimana tabiatnya aku tidak paham sama sekali. Dia sepertinya tidak aktif organisasi ekstra atau intra kampus, karena kalau dia aktif, aku pasti pernah melihatnya sesekali.
Setelah mengikuti kelas Romeo, aku kembali pulang menggunakan mikrolet. Tidak langsung ke kostan Romeo. Aku ke mall membeli beberapa peralatan mandi. Rasanya risih memakai peralatan laki-laki.
Sehabis belanja, aku langsung pulang lagi ke kost Romeo. Tapi, di depan kost langkahku tertahan. Mobil polisi dan kerumunan banyak tetangga. Jantungku sesaat berhenti berdetak. Perasaanku terasa tak enak. Kulangkahkan kaki satu-satu dengan penuh keraguan ke pekarangan kost.
“Bang Ujang nemu mayat di pekarangan belakang kost kita!” teman sebelah kamar kostku langsung menghampiri. Wajahnya kelihatan pucat persis sepertiku.
“Mayat?”
Dia mengangguk sambil memperbaiki kacamata. “Bang Ujang tadi pagi disuruh Ibu kost bersihin pekarangan belakang. Rencananya mo nanam ubi kayu,” tambah si kacamata.
Kok harus sekarang pula nanam ubi kayunya?
“Kayaknya mayatnya masih baru.” Jelas si kacamata tanpa diminta.
Aku membuka pintu kamar dan berusaha menenangkan diri. Untung saja seprai berlumur darah itu sudah kubuang bersama belati. Mudah-mudahan saja polisi tidak memeriksa kamar kami satu per satu. Karena aku takut sisa-sisa darah masih belum bersih benar aku hilangkan. Tapi ternyata harapanku meleset, satu per satu kami penghuni kost diinterogasi dan tiap-tiap kamar diperiksa tanpa luput. Selama 24 jam kostan kami diawasi, tak satu orang pun boleh keluar tanpa seizin petugas yang menjaga. Besoknya, aku diciduk dan mendekam di rumah tahanan. Mayat itu sudah dikenali sebagai Marsya. Kekasih Romeo yang telah hamil 4 bulan.
***


[1] Buntang = Bangkai
[2] Serempak = Bareng


(Bersambung)

0 comments:

Post a Comment

 

(c)2009 Mardiana Kappara . Based in Wordpress by wpthemesfree Created by Templates for Blogger