"Rom, pasti ada seseorang kan yang kau cari di sini?"
"A,..Aku, aku tidak sedang mencari siapa-siapa. Aku hanya,.."
Tiba-tiba Juliet melongokkan kepalanya dari dalam kamar. Kamarku yang seharusnya memang menjadi kamarku apabila aku tidak di tubuh lelaki ini. Juliet menatapku. Tetap sinis. Lalu dia masuk kembali dan menutup pintu kamar.
"Kau mencari Juliet?" Vonny bertanya
Aku menggeleng, "Ti,..tidak."
Vonny memicingkan mata menatapku.
"Iya. Aku tidak mencari Juliet." Aku meyakinkan perempuan berjilbab tersebut.
"Siapa yang kau kenal di sini?"
Aku berpikir. Seketika Cimut melintas dari kamar mandi.
"Cimut!!!"
Perempuan berbadan tambun tersebut gelagapan menepis handuk yang menutup kepalanya. Lalu mencari-cari asal suara yang meneriakkan namanya, "Ya?"
"Cimut! Aku Romeo!" Panggilku lagi.
Setelah matanya menangkap sosokku otomatis Cimut langsung melongo.
"Cimut, ingatkan aku ajak kamu dua minggu lalu makan di lesehan pecel lele depan kostan ini?"
Cimut tambah melongo. Tapi hanya sejenak. Sekian detik kemudian dia mengangguk-angguk dengan mengacungkan telunjuknya ke udara. "Oh, yang itu,..."
"Iya, Mut! Ingatkan?"
Cimut setengah tak yakin menganguk-angguk lagi.
Vonny menatapku dengan kening berkerut, "Kau mencari Cimut?"
"Iya. Cimut." Tunjukku dengan senyum sangat lebar.
"Aku masuk dulu ya, aku ada kuliah setengah jam lagi." Sahut Cimut.
"Oke. Ma kasih ya, Mut yang kemaren." Sahutku basa-basi.
"Sama-sama." Cimut masuk ke kamarnya dan menutup pintu dengan rapat.
"Ada urusan apa kau dengan Cimut?"
"Aku, aku minjam catatan kuliahnya."
"Catatan kuliah? Dia kan Teknik Sipil!"
Aku menepuk jidat. Aku kan Ilmu Pemerintahan. goblok!
"Iya. Tapi sebenarnya cuma alasan,..."
"Alasan?" Vonny semakin curiga.
"Aku ada perlu dengan Cimut secara pribadi." Jawabku.
"Kau mendekati Cimut?" Vonny bicara setengah berbisik.
"Oh, tidak! Tidak, Von!"
"Gila kau Rom, Marsya dibanding Cimut seperti bumi dan langit. Kau sakit Rom!"
Aku meletakkan telunjuk di atas bibirku.
"Kau gila, Rom! Memang ada masalah apa kau dengan Marsya?" Vonny mengecilkan volume suaranya.
Aku menggelengkan kepala, "Tidak ada. Tidak ada apa-apa."
"Beberapa minggu ini kulihat Marsya murung dan tidak banyak bicara. Kamarnya saja sering dikunci dari dalam. Kalau kutanya, dia selalu bilang sedang tidak enak badan. Kau pun kulihat jarang main ke kostannya."
Aku akhirnya merasa kesal juga dengan berondongan pertanyaan Vonny.
"Aku tidak tahu, Von. Dan aku rasa tidak ada apa-apa. Lagian kenapa kau jadi persis emaknya?"
Vonny mengatupkan mulutnya rapat.
"Mohon maaf ya, Von. Aku juga saat ini sedang mengalami kebingungan yang sangat terhadap diriku. Jadi tolong lah kasih aku waktu untuk menyesuaikan diri."
"Rom! Marsya itu sahabatku dan lebih dari saudara aku. Jadi sekarang, tolong bantu aku untuk melihat Marsya. Kalau dia memang sudah tidak lagi, aku ingin melihat jasadnya."
"Hm, kau benar-benar tidak tahu Marsya sudah meninggal. Tidak ada yang berkunjung ke kostanmu dari kepolisian beberapa hari ini?"
"Aku sedang keluar empat hari ini. Aku tidak di kostan."
Aku hanya mengangguk.
"Antar aku, Rom. Aku ingin lihat Marsya."
"Mungkin dia masih di ruang otopsi rumah sakit? Aku juga tidak tahu Von. Aku cuma diinterogasi di kantor polisi. Aku sama sekali tidak dipertemukan dengan mayat Marsya."
"Kau masih pacarnya kan?"
Aku mengangguk pelan.
"Kau tidak ingin melihat dia untuk terakhir kalinya?"
Aku mengangguk lagi.
"Ya, ayo!" Seret Vonny.
Aku terpaksa mengikuti perempuan tersebut ke arah mobil Mirage merah yang diparkirnya di pekarangan kost-kostan.
(Bersambung)